Yang Tersisa dari Premiere Film Dokumenter “Smong”

Oleh: Mirisa Hasfaria

Saya melangkahkan kaki menuju lantai tiga Museum Tsunami Aceh pada 14 Desember 2024 untuk menghadiri premiere film dokumenter “Smong” karya Tonny Trimarsanto. Saya tidak mengikuti diskusi setelah pemutaran karena ketidaknyamanan pengaturan ruangan. Keterbatasan gerak kaki kanan pasca operasi lima bulan yang lalu, bukanlah kondisi yang secara fisik bisa saya tolerir setelah 60 menit menonton.

Saya meninggalkan auditorium dengan beberapa pertanyaan (burning questions). Saya menuliskannya berdasarkan apa yang menjadi poin observasi ketika menonton. Pertama, trio yang menjadi bagian dari para pegiat kesenian Nandong -perihal ini saya memiliki pertanyaan tersendiri- tidak satu pun diperkenalkan hingga akhir. Saya ingin mengetahui nama-nama mereka, juga profesi utamanya ketika mereka tidak berkesenian. Lazimnya praktik para pekerja seni di Aceh, sulit untuk bertumpu pada berkesenian sebagai mata pencaharian. Sehingga, latar belakang masing-masing (saya rasa) akan mendekatkan penonton dengan mereka. Namun sepanjang film, saya merasakan bahwa mereka dihadirkan seperti mantra jelangkung, “Datang tak dijemput, pulang tak diantar”.

Kemudian, agak sulit untuk memahami percakapan ketiganya karena bahasa yang digunakan bukan Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Aceh -saya kebetulan etnis Aceh, sehingga sedikit paham Bahasa Aceh. Jadinya, saya bertumpu pada alih bahasa Inggris. Setelahnya, saya menebak-nebak bahasa apakah yang mereka pergunakan untuk bercakap-cakap: Bahasa Devayan; Bahasa Sigulai, Bahasa Leukon, atau bahasa lainnya? Biasanya, dalam beberapa film dokumenter yang pernah saya tonton, akan ada informasi yang muncul di layar seperti berikut ini:

[Bercakap-cakap dalam Bahasa Leukon] (terjemahan dalam Bahasa Indonesia). Dengan cara ini, penonton dibantu untuk memahami keseluruhan percakapan dengan merujuk pada alih Bahasa Indonesia, yang sangat membantu dibandingkan dengan merujuk pada alih Bahasa Inggris (lost in translation).

Kesenian Nandong ini, yang saya ketahui namanya dari seorang teman dan kemudian memungkinkan saya untuk mencari tahu lebih jauh di Wikipedia, kehilangan kesempatan untuk diperkenalkan dengan baik. Adegan pembuka  langsung menampilkan tiga laki-laki yang mengenakan pakaian teluk belanga kuning yang hanya dibedakan oleh songketnya. Sehingga, di adegan awal ini, saya harus menebak-nebak: siapa mereka? Apa hubungan mereka dengan Smong? Berkaca pada pengalaman menonton film-film dokumenter, juga sebagai penikmat, kesenian Nandong bisa diperkenalkan di awal, dengan format layar hitam dan deskripsi 1-2 paragraf sebelum masuk ke adegan pembuka. Mukaddimah seperti ini akan mengantarkan penonton dengan lebih elegan ke film.

Namun, mungkin ketiadaan mukaddimah ini disengaja, agar penonton tidak bisa menggugat ketika Nandong yang seharusnya adalah pertunjukan grup, berubah menjadi pertunjukan solo ketika si pemain biola tampil menyanyikan syair mengenai Smong/tsunami 2004 tanpa didampingi oleh dua pemain gendang yang di awal muncul sebagai trio.

Selain itu, saya baru menyadari bahwa film ini juga tidak informatif. Ketika ada adegan narator menjelaskan mengenai jejak tsunami purba di sebuah gua, saya mengira situs tersebut ada di Simeulue. Namun, ketika membaca “Smong Purba: Jejak Gempa dan Tsunami Aceh” terbitan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (2019), saya baru tahu bahwa gua tersebut, Guha Ek Luntie, berada di Gampong Meunasah Lhok, Kecamatan Lhong, Aceh Besar. Mengapa tidak menyajikan informasi tersebut dalam bentuk teks di layar?

Kemudian, lokasi film berpindah dari Simeulue ke Banda Aceh tanpa penjelasan. Kenapa harus berpindah ke Banda Aceh?Apakah karena keberadaan PLTD Apung dengan berat 2.600 ton yang terseret hingga 5 kilometer ke daratan dari Pelabuhan Ulee Lheue harus masuk ke dalam film agar bisa disebut sebagai film untuk mengenang 20 tahun bencana tsunami?

Ada banyak hal yang belum tergali di Simeulue sana, tanpa perlu memindahkan lokasi film ke Banda Aceh. Pertama, jika kita menelisik pernyataan salah satu pegiat kesenian Nandong bahwa mereka lebih sering dipanggil untuk memeriahkan pesta perkawinan, jadi bagaimana cerita dan pembelajaran mengenai musibah tsunami disampaikan melalui tradisi Nandong? Siapa audiens mereka selama 20 tahun ini? Apakah syair-syair mengenai Smong yang disampaikan selama kurun waktu tersebut mengalami perubahan? Apa strategi mereka dalam menciptakan syair-syair yang terus relevan untuk generasi yang berbeda-beda: Generasi X (lahir tahun 1997-2012); Millennials (lahir tahun 1981-1996); Generasi Z (lahir tahun 1997-2012); dan Generasi Alpha (lahir tahun 2013-2025) dengan dua cohort terakhir generasi Millennials dan 9 cohort di generasi Z yang mungkin memiliki ingatan samar-samar mengenai kerusakan, kehilangan jiwa dan harta benda serta dampak ekonomi dan sosial dari musibah tsunami karena saat peristiwa mereka baru berusia 8-9 tahun, serta 0-8 tahun pasca musibah. Bagaimana para pegiat kesenian Nandong melahirkan generasi-generasi penerus pegiat kesenian untuk melestarikan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia ini? Selain Nandong, kearifan lokal apa yang digunakan untuk merawat ingatan mengenai Smong?

Di masyarakat Aceh, tsunami disebut dengan berbagai nama, misalnya ie beuna (Aceh Besar), geulumbang ie raya, alôn buluek (Aceh Utara), gloro (Aceh Singkil), smong (Simeulue). Ketika film ini gagal mengeksplorasi lebih jauh antara smong dan Nandong, dan hanya menjadi fragmen mengenai bencana tsunami yang diberi judul smong, maka bahkan judul film ini pun menjadi misleading (menyesatkan). 

Akhirnya, saya harus menyebutkan bagian dari film tersebut yang membuat saya felt remorse mengalokasikan waktu untuk menontonnya. Yakni terkait percakapan di warung kopi antara narator utama (tokoh perempuan) dan tiga orang temannya (seorang perempuan dan dua orang laki-laki). Saya memahami bahwa dialog yang ada di sepanjang film itu tidak alami, alias dibuat untuk kepentingan film. Namun mengapa justru ada staged dialogue yang tidak cerdas semacam itu? Dialog tersebut menyebutkan bahwa perempuan tidak rasional karena menggunakan perasaan. Berbanding dengan lelaki yang merupakan makhluk rasional. Kalimat-kalimat dari dialog yang tidak cerdas ini akan membenarkan pengabaian pendapat perempuan, menjadikannya sasaran pelecehan verbal, bahkan kekerasan fisik karena dianggap “tidak mampu berpikir” atau “hanya membuat masalah”.

Sepertinya tim inti yang terlibat dalam pembuatan film ini tidak memiliki gender and cultural advisor. Dus,film ini hanya menjadi perpanjangan tangan patriarki untuk “doing harm” [prinsip etika yang menekankan pentingnya menghindari tindakan yang dapat membahayakan atau merugikan] kepada perempuan. Gender and cultural advisor mungkin bisa menyelamatkan mereka dari kebodohan! Karena dialog yang tidak cerdas seperti itu merupakan bentuk patriarchal binary thought, istilah yang diciptakan oleh Hélène Cixous, feminis dari Perancis.

Patriarchal binary thought adalah cara yang disengaja untuk mengelompokkan peran lelaki dan perempuan sebagai kutub yang berlawanan (oposisi biner), yang satu dianggap lebih unggul (superior) daripada yang lain (subordinat/inferior). Perempuan “diumumkan” sebagai makhluk domestik dan oleh karenanya harus mnejadi subordinat karena perempuan lemah, menggunakan hati/perasaan, bernafsu, pasif dan tempatnya adalah di rumah/ruang privat. Sementara lelaki harus berada di ruang publik karena kuat, menggunakan akal/intelek, aseksual, aktif, dus, dikonstruksikan sebagai pengontrol sosial.

Patriarchal binary thought bersifat phallocentric, yang berarti bahwa oposisi biner fokus pada phallus sebagai simbol dominasi laki-laki. Sehingga feminitas selalu dilihat sebagai contoh yang negatif dan tidak berdaya. Betapa piciknya!

Dulu, ketika masyarakat Aceh berjibaku mengelola ruang hidup dan kehidupannya pasca bencana tsunami, kami yang tinggal di Banda Aceh sering mendengar ceramah-ceramah misoginis yang menyalahkan perempuan Aceh sebagai penyebab Aceh dilaknat Allah SWT dengan musibah gempa dahsyat dan gelombang tsunami. Bayangkan, saya yang kehilangan ayah, seorang kakak, dua adik laki-laki, rumah dan sumber mata pencaharian keluarga yang membuat saya hampir dropped out dari kuliah S1, masih harus mendengarkan “dakwaan” melalui ceramah-ceramah bahwa kehilangan yang menimpa saya adalah penghukuman dari Tuhan. Tidak ada seorang pun yang sedang mengalami kehilangan luar biasa seperti itu ingin mendengar orang lain menafsirkan apa yang alam semesta/Tuhan sedang sampaikan kepada mereka atau bahwa ada pelajaran hidup yang harus kami pelajari. Dan, duapuluh tahun setelah tsunami, film ini masih mereplikasi cara-cara patriarki dalam dialog tidak cerdasnya. Sungguh terlalu!

Mirisa Hasfaria, bersama Bungong Society, menyelenggarakan Festival Film Aceh di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta, pada 30 Oktober hingga 1 November 2003