Banda Aceh- Aceh Documentary Forum (ADF) kembali melakukan nonton dan diskusi film karya sineas Aceh. Ini adalah forum perdana di tahun 2017 yang sebelumnya telah dilakukan pemutaran sebanyak 7 kali di tahun 2016. Forum nonton dan Diskusi film mengusung tema “Cang Film” yang berdasarkan filosofinya forum ini diperuntukkan untuk diskusi dalam mengupas tuntas terkait isu-isu serta keresahan yang sedang dihadapi masyarakat Aceh hingga saat ini.
Pemutaran film milik kedua sineas Aceh ini dilakukan di teater mini Aceh Documentary di Seutui, Kota Banda Aceh. Adapun film yang diputar berjudul Ahsabul Kahfi yang disutradarai oleh Azhari dan Kamuflase karyanya Ayu Magfirah yang merupakan mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Kedua film ini mengajak penonton aktif dalam menanggapi isu-isu yang sedang terjadi di Aceh dan sekitarnya.
Politik adalah topik yang sangat berat dan tiada ketuntasan pembahasannya. Karena “politik” menggambarkan betapa luasnya penjabaran makna dari kata tersebut. Kata “Politik” kerap tidak hanya menjadi perbincangan kaum tua saja, tetapi kata ini mulai diperluas hasratnya oleh kaum muda bahkan anak-anak tanpa mengenal genre.
Aristoteles menyatakan bahwa politik itu adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non-konstitusional. Jalannya politik dapat berakibat positif maupun negatif dari penyebab yang ditimbulkan. Film fiksi Ahsabul Kahfi dan Kamuflase adalah bukti nyata dari efek permainan politik. Politik yang acapkali menjadi permainan menyenangkan “rakyat besar” dan keresahan bagi “rakyat kecil”.
Film “Ahsabul Kahfi” mengungkapkan fakta terhadap seorang yang tertidur dalam kurun waktu sangat lama, dan terbangun kembali di zaman sudah modern, namun permasalahan yang terjadi di negeri ini belum juga berakhir, sama seperti dahulu. Meskipun uang koin tidak lagi bernilai, sekeliling rumah sudah dipenuhi pohon dan tanaman yang menjalar, dan jenggotnya pun melebat. Dunia tetap tidak berubah, dunia masih seperti dulu, hanya saja cara dan ilustrasi perjalanannya lebih modern. Dunia ini semakin membingungkan.
Sama halnya “Kamuflase” yang mengisahkan tentang seorang calon pemimpin yang menyembunyikan topeng hitam dibalik topeng putih yang akan dipertontonkan di hadapan rakyat. Pembohongan publik seperti ini kerap tidak disadari oleh “rakyat kecil” yang konon sangat terpengaruhi saat diiming-imingkan dengan selembar rupiah.
Kedua isu yang diangkat dalam film ini adalah pemaparan jelas kondisi perpolitikan kita di Aceh Pra dan pasca-Pilkada. Bahkan permainan politik pun kerap terjadi tepat di hari Pesta Pilkada. Dan nyatanya, masih banyak rakyat yang tidak paham terkait “perpolitikan” apa yang sebenarnya dilakukan di hari Pesta Pilkada. Di sini saya akan memaparkan hasil diskusi Cang Film terkait permainan politik selama Pilkada.
Diskusi ini mengaitkan kepada film yang diputar pada saat diskusi minggu lalu. Kisah seorang seniman yang memilih golput (golongan putih) yang diyakininya bahwa memilih pemimpin tidak akan mempengaruhi nasibnya. Kekecewaannya kepada pemimpin-pemimpin sebelumnya membawa ia untuk diam tanpa memperdulikan lagi perkembangan negara ini.
Golput, baginya adalah pilihan yang tepat daripada salah memilih. Baginya calon pemimpin yang tergabung ke dalam pilkada tidak ada satu pun yang mampu membaliknya nasib-nasib orang sepertinya “rakyat kecil”. Dia juga berpikir bahwa pemimpin yang akan terpilih nantinya tidak begitu penting bagi mereka.
Ada satu fakta yang terungkap pada saat diskusi lalu, Golput ternyata bukanlah jalan terbaik yang dapat diambil. Golput nyatanya telah memberi peluang bagi pihak tertentu untuk memainkan surat suara. Dan golput juga akan membuka ruang kejahatan baru dengan memberi kesempatan kepada pihak tertentu.
Apa alasan seseorang bisa golput? Kami mencoba mendiskusikan ini berdasarkan pengalaman dan realita juga isu-isu yang berkembang di masyarakat: (1). Memilih golput karena alasan tidak ada yang manarik terhadap paslon yang diusungkan; (2). Golput karena tidak terdata di daerah pemilih atau tempat ia tinggal; (3). Golput karena kesalahan dari pihak panitia yang tidak mengantarkan undangan pemilihan ke rumah calon pemilih; (4). Golput karena mahasiswa banyak yang merantau ke luar daerah, sedangkan di kota rantauan mereka tidak terdaftar sebagai pemilih; (5). Golput dikarenakan panitia TPS tidak mengkoordinir secara benar daftar pemilih .
Suara rakyat yang tidak bisa memilih berharap sistem pecomblosan lima tahun ke depan agar di perbaiki sebaik mungkin. Surat suara telah memberi peluang kejahatan bagi paslon lain. Oleh sebab itu, pendataan harus benar-benar optimal untuk meminimalisir terjadinya kecurangan. Misalnya saja, banyak mahasiswa atau pekerja yang merantau ke Kota Banda Aceh, mereka tidak mungkin pulang hanya untuk memilih saja, dikarenakan kekurangan dana. Dalam satu kos-kosan terdapat kurang lebih 20 mahasiswa, sudah terbayang sebanyak apa harus kehilangan surat suara dari keseluruhan kos-kosan yang ada di Banda Aceh. banyak mahasiswa dan pekerja yang memilih golput karena mereka tidak terdaftar di tempat mereka tinggal sementara. Sistem e-KTP pun tidak membantu kami untuk mencoblos dikarenakan kurangnya management informasi dari pusat yang turun ke masing-masing TPS, dan berbagai kemungkinan lainnya.
Harapan terbesar kami adalah agar hal serupa yang terjadi di tahun ini tidak akan terulang kembali. Semoga sistem pemilihan dapat diperbaiki tanpa menguntungkan satu pihak tertentu, agar seniman “Ahsabul Kahfi” juga ikut berpartisipasi dalam memilih pemimpin dan bersama membangun negeri ini.
Note:
- Cang Film akan terus berlangsung di forum guna membahas dan menemukan solusi dibalik isu-isu yang sedang berkembang hingga saat ini.
- Cang Film terbuka untuk umum dan gratis yang hadir 2x dalam sebulan dengan mengusung film yang berbeda-beda disetiap pemutarannya.
- film yang diputar adalah film dokumenter maupun fiksi yang merupakan karya sineas Aceh dan sineas Nasional.