Aceh Documentary Forum #2 | Melipat Jarak dari Aceh ke Papua

Sebanyak apa yang kita ketahui tentang Papua?

Ramuan film dalam program Aceh Documentary Forum (ADF) kali ini, mengajak penonton untuk melihat Papua melalui film, yang mungkin luput dari apa yang kita pikirkan selama ini. Menonton dan berdialog tentang Papua adalah bentuk lipatan jarak yang sangat mungkin kita lakukan. Ini adalah lipatan kecil dari ujung barat untuk mendekat ke saudara kami di ujung timur Indonesia. Kami percaya bahwa lipatan kecil ini dapat menjadi sebuah lipatan besar untuk membangun pemahaman dan solidaritas yang lebih kuat.

ADF #2 menghadirkan dua film tentang Papua. Film Wisisi Net Meke bercerita tentang anak muda di Papua menggubah Wisisi dan Pesek menjadi sebuah sajian musik elektronik populer dengan goyang Aster yang mengguncang. Lalu, film Hukum yang Tra Jelas di Tanah Papua menceritakan rasisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya pada tahun 2019.

Pada sesi diskusi, kami mengajak Azhari Aiyub, seorang sastrawan dan pernah terlibat dalam pembuatan Museum HAM di Aceh. Azhari mengatakan bahwa solidaritas terhadap Papua sangat diperlukan saat ini. Ruang-ruang pemutaran seperti ini harus diperbanyak karena media arus utama tidak bisa dipercaya ketika memberitakan soal Papua. Kami juga mengundang Thance Majefat, mahasiswa Papua di Aceh. Majefat bercerita tentang pengalamannya tinggal di Aceh dan menanggapi pertanyaan penonton tentang Papua.

Kami juga turut mengundang Max Wayeni selaku Plt. ketua Papuan Voices dan Bernard Koten selaku sutradara film Hukum yang Tra Jelas di Tanah Papua. Max menyampaikan dalam pernyataan terakhirnya, “Papua sedang tidak baik-baik saja, kami sangat membutuh solidaritas dari kawan-kawan.” Lalu, Bernard menulis (karena berhalangan untuk bicara), “Pertama terima kasih banyak buat keluarga di Aceh yang sudah nonton kisah kami. Yang kedua, dua film yang teman-teman nonton itu adalah situasi yang terjadi di Papua saat ini. Walaupun keadaan ditekan, tapi kami harus tetap berdiri dan berani berbicara tentang kisah kami. Kisah yang harus menurut kami bukan menurut orang lain. Walaupun orang di luar tidak terima tapi kami tetap bersuara tentang apa adanya kami. Hormat buat kamu semuanya. Harapannya, kami menunggu kisah dari Aceh agar kami tahu tentang keluarga di Aceh. Sekali lagi salam hormat buat keluarga semuanya.”

Pada akhirnya, melalui sinema, kita dapat menjembatani jarak, membangun dialog, dan menumbuhkan empati.


Programmer: Jamaluddin Phonna
Durasi program: 180 menit
Jumlah Penonton: 54

Wisisi Nit Meke
Arief Budiman, Harun Rumbarar, Bonny Lany
45 Mins
2023
Indonesia

Hukum yang Tra Jelas di Tanah Papua
Harun Rumbarar, Bernard Konten
35 Mins
2024
Indonesia