Abracadabra dan Politik Representasi: Membaca Aceh dari Kamera Aryo Danusiri

Pendekatan sinema dokumenter yang dikembangkan oleh Aryo Danusiri dalam karyanya di Aceh selama periode 1999–2007, dengan menelusuri transformasi metodologis dari testimoni etnografis hingga sinema observasional, adalah praktik dokumenter yang menjadi wahana produksi pengetahuan, pertemanan, serta pembongkar stereotip representasional. Argumen utama yang diangkat adalah bahwa dokumenter bukan sekadar media informasi, melainkan ruang refleksi dan negosiasi epistemik antara subjek, kamera, dan konteks sosial-politik.

Praktik dokumenter kerap diasosiasikan dengan usaha merekam realitas secara objektif dan informatif. Namun dalam konteks konflik politik dan kekerasan struktural, pendekatan ini menghadapi tantangan epistemologis yang mendalam. Pertanyaan seperti: “Siapa yang menjadi subjek representasi?”, “Apa makna korban?”, dan “Bagaimana pengetahuan disusun melalui medium film?” menjadi krusial. Wawancara bersama Aryo Danusiri, seniman video dan antropolog, memberikan pencerahan penting terhadap isu-isu tersebut, terutama melalui refleksinya atas pengalaman produksi film dokumenter di Aceh.

Film pertama Aryo di Aceh, Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa (1999), menggunakan pendekatan testimoni untuk menghadirkan suara korban konflik bersenjata antara TNI dan GAM. Film ini menjadi bentuk intervensi terhadap narasi media arus utama yang cenderung menampilkan konflik sebagai dikotomi antara dua kubu bersenjata, dengan menyingkirkan pengalaman warga sipil sebagai aktor utama sejarah.

Namun seiring waktu, Aryo mengembangkan pendekatan yang lebih reflektif dan tidak linier. Dalam Abracadabra (2003), ia mulai mengadopsi sinema observasional. Kamera tidak lagi sekadar alat dokumentasi, melainkan menjadi medium riset itu sendiri. Tidak ada skenario yang kaku. Narasi dibentuk secara organik dari perjumpaan dengan subjek dan peristiwa yang tak terduga. Proses ini menghasilkan bentuk sinema yang, dalam istilah Aryo sendiri, “sangat prosesual, sangat organik.”

Produksi dokumenter di wilayah konflik seperti Aceh menuntut kecermatan dalam membaca kondisi politik dan sosial. Aryo mencatat bagaimana keputusan teknis dan logistik dipengaruhi oleh dinamika keamanan di lapangan. Misalnya, pemilihan kamera digital dengan ukuran kecil memungkinkan mobilitas tinggi dan mengurangi potensi deteksi aparat keamanan. Film The Poet of Linge Homeland (2000) bahkan harus diproduksi melalui jalur darat Medan–Takengon karena situasi di Banda Aceh dinilai terlalu berisiko.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa produksi dokumenter bukan hanya soal estetika, melainkan juga soal negosiasi taktis di lapangan. Realitas tidak tersedia secara netral untuk direkam. Ia harus dinegosiasikan melalui teknologi, waktu, dan relasi kuasa.

Dalam pengamatan Aryo, sinema observasional tidak identik dengan penghapusan subjektivitas. Ia membedakan antara Direct Cinema, yang mengasumsikan objektivitas realitas dengan sedikit intervensi dan Cinéma Vérité, yang menyadari konstruksi subjektif dalam relasi kamera-subjek. Aryo sendiri cenderung ke pendekatan kedua, menekankan bahwa dokumenter adalah bentuk “sinema pertemanan.”

Menurutnya, tidak semua orang bisa menjadi karakter dalam dokumenter. Diperlukan relasi timbal balik dan minat performatif dari subjek. Oleh karena itu, dokumenter bukanlah kegiatan eksploitatif terhadap narasumber, tetapi praktik partisipatoris yang membentuk relasi sosial baru. Proses produksi film menjadi proses membangun kepercayaan, kesalingpahaman, dan pada saat tertentu, juga konflik dan perpisahan.

Salah satu refleksi penting Aryo adalah bagaimana dokumenter berisiko mereproduksi stereotip, khususnya terhadap kategori “korban.” Ia menolak pemahaman korban sebagai “type”, kategori abstrak yang telah dikonstruksi secara sosial dan politik. Sebaliknya, ia mengusulkan pendekatan “token”, yaitu memahami korban sebagai individu konkret dalam situasi spesifik.

Dalam Playing Between Elephants (2007), Aryo mengamati bagaimana identitas korban tidak selalu lemah atau pasif. Identitas ini bisa menjadi strategi politik untuk merebut sumber daya atau bahkan menjadi alat legitimasi penguasa. Dengan demikian, relasi kuasa dalam konteks pasca-konflik Aceh sangatlah fluid: subjek yang hari ini tampak sebagai korban, bisa menjadi aktor dominan dalam konteks lain. Di sini, dokumenter menjadi alat penting untuk “membongkar” konfigurasi kekuasaan yang tidak selalu terlihat secara eksplisit.

Aryo juga mengkritik tendensi dokumenter yang hanya menyampaikan informasi dan interpretasi. Ia lebih tertarik pada dokumenter sebagai medium qualia, yaitu pengalaman sensorik yang belum dibungkus interpretasi. Dengan membiarkan filmnya “mentah”, ia memberi ruang bagi penonton untuk bereaksi secara personal dan reflektif. Dalam perspektif ini, dokumenter sejajar dengan praktik riset antropologis, yaitu sebagai bentuk produksi pengetahuan yang tak selalu linear dan bersifat final.

Statement Aryo menegaskan bahwa dokumenter bukan semata alat representasi, melainkan medan relasional yang penuh kompleksitas antara filmmaker, subjek, teknologi, dan konteks. Melalui praktik observasional dan pendekatan partisipatoris, Aryo Danusiri memperlihatkan kemungkinan dokumenter sebagai wahana pembongkar stereotip, pendalaman pengalaman, dan produksi pengetahuan alternatif. Dalam konteks Aceh, dokumenter menjadi cara untuk memahami realitas politik yang kompleks, tanpa jatuh pada penyederhanaan moralistik antara “korban” dan “penguasa”.

Baca wawancara lengkap disini