Perfilman Indonesia Dalam Bahaya

Oleh : Bonardo Maulana Wahono

VIVAnews – “Ada dua macam sutradara,” tegas Joko Anwar seperti dikutip dari situs rumahfilm.org suatu malam di pertengahan 2008, “director for hire, dan director yang tak akan bikin film kalau tidak datang dari dirinya sendiri.” Jenis pertama, menurutnya lagi, kerap menerima undangan dari produser film untuk membuat karya. Mereka seakan tak punya daya untuk menolak permintaan pemberi dana. Sedangkan jenis yang kedua adalah mereka yang punya kesadaran tinggi untuk mengimbuhkan pernyataan sikapnya dalam film.

“[Saya] termasuk tipe yang kedua,” aku Joko, “[tapi] bukan berarti yang pertama lebih jelek dari yang kedua.”

Indonesia tidak punya banyak pembuat film seperti Joko. Jika boleh menyebut beberapa nama, Riri Reza, Nia Dinata, atau Garin Nugroho mungkin dapat dimasukkan daftar. Mereka menciptakan, dan menerapkan, visi melalui karya-karyanya. Jika dibenturkan kepada layar yang lebih besar, ada semacam upaya untuk merekonstruksi pandangan tentang manusia Indonesia pada karya-karya mereka.

Dalam hal ini, tengoklah Laskar Pelangi (Riri Reza), Arisan! (Nia Dinata), Rindu Kami Padamu (Garin Nugroho), atau bahkan Kala (Joko Anwar). Tentu saja film-film yang disebut barusan bukanlah satu-satunya produksi mereka. Tapi setidaknya penonton melalui film-film itu disuguhkan keasyikan tak muluk-muluk dari keajaiban sinema: Pada mulanya adalah film, dan bioskop adalah satu-satunya dunia.

Maka sungguh wajar kekeraskepalaan mereka dalam menghasilkan film-film berkualitas baik, dan, kadang, berhasil secara komersil, membawa perfilman Indonesia menuju ceruk kecil tempat harapan dan cita-cita tertampung. Kini banyak penonton film merasa bahwa mereka ditawarkan pilihan baru untuk menikmati film. Simaklah, contohnya, Pintu Terlarang (Joko Anwar) atau Berbagi Suami (Nia Dinata). Keduanya pernah mendapatkan penghargaan dalam festivak film internasional.

Di atas itu semua, awal tahun ini perfilman Indonesia seakan-akan kembali ditantang untuk merumuskan-ulang pandangannya tentang industri film. Apa sesungguhnya upaya yang mesti dijalani demi membentuk industri yang kokoh. Ini ada hubungannya dengan bagaimana sebuah film bisa berhasil secara komersil dan estetik sekaligus. Satu hal tidak begitu saja bisa dikorbankan untuk mendahulukan yang lain.

Tentu saja, perdebatan tentang industri yang kokoh ini ada hubungannya dengan jenis film yang diproduksi. Hari-hari ini, ketika perfilman Indonesia mulai menemukan lagi penggemarnya, bioskop kembali hibuk merapikan kursi-kursi di ruang tontonnya demi menyambut penonton yang ingin melihat tubuh, melulu tubuh: Suster Keramas, Raped by Satan (Diperkosa Setan), dan yang terbaru Hantu Puncak Datang Bulan.

Bangkitnya film-film sejenis dari dalam kubur (tentu saja tidak berhubungan dengan Beranak Dalam Kubur) seolah melemparkan lagi perfilman Indonesia ke tengah gulungan film yang banyak diputar pada tahun 1990an. Kita bisa ingat sebagian besar bioskop kala itu, setidaknya di Jakarta, menjual film-film demikian, yang terlampau sering menyampirkan imaji tubuh nyaris telanjang ke mata penonton. Dan sungguh kita memiliki ingatan yang pendek jika tak lagi kenal nama-nama ini: Inneke Koesherawati, Sally Marcelina, atau Malvin Shayna. Jika saja Anda sekadar iseng datang ke salah satu bioskop untuk menonton mereka ketika itu, Anda mesti menengok ke bangku belakang demi memergoki bocah SMP berpikiran cabul sedang tenggelam dalam birahinya sendiri.

Masalah utama dalam film-film yang sejatinya hanya memberi tempat pada tubuh setengah bugil itu adalah, pada hemat saya, kemustahilan merangsang daya kritis penonton untuk menilai apa yang ingin disampaikan sutradara, jika memang benar-benar ada. Cobalah anda tonton sebuah film saja. Pilih dengan acak. Niscaya, anda tak akan menemukan penceritaan.

Berbeda dengan, misal, Opera Jawa karya Garin Nugroho. Di sana ada persetubuhan. Tapi hubungan fisik itu ditalikan pada sebuah benang yang turut menjahit keseluruhan film. Atau kita juga bisa melihat Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu. Dalam film itu, tubuh juga dimaknai sebagai media tempat pengalaman personal berhimpun. Dalam kedua film itu, tubuh dan persetubuhan merupakan bagian kuat dari penceritaan, dari pembentukan suatu karakter. Jika semua atau salah satu dari bagiannya diceraikan, maka kedua film itu akan kehilangan cerita.

Lalu apa arti sebuah film bagi penontonnya jika ia tak lagi bisa bercerita? Apakah keajaiban sebuah film masih berlaku jika ia tak lagi bisa membuat penontonnya menimbang-gugat pandangannya sendiri tentang sesuatu?

SUMBER : http://life.viva.co.id/news/read/125330-perfilman_indonesia_dalam_bahaya