ToR ADC 2014: The Soul of Culture

Kita hidup di Negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi, keberagaman itu memenuhi ruang kepulauan Nusantara yang luas, sebagian wilayah kita berada dijalur tektonik, tanah yang tandus, kering dan gunung berapi, tetapi ada pula wilayah yang aman, subur dan berhutan lebat.

Karakteristik wilayah serta suku, agama, dan budaya penduduk yang beragam melahirkan struktur kepribadian individu dan kelompok suku bangsa kita yang berbeda-beda. Satu yang menyatukan kita bersama nilai-nilai tradisi yang universal adalah adanya perasaan senasib membangun sebuah ikatan, baik kebangsaan, ke daerahan dan kesetiaan. Perasaan itu menjadi kehendak bersama, masing-masing individu tetap merepresentasikan watak lingkungan indentitas budayanya sendiri. Perasaan primordialisme kesukuan dan ikatan sosial senatiasa tidak terlepas begitu saja, tetapi berkembang bersama-sama dinamika komunal ke Acehan dan Indonesia.

Budaya merupakan sebuah tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Budaya tidak hanya tarian, simbol dan cara melaksanakan hari-hari besar daerah tertentu. Akan tetapi tradisi sebuah kebiasaan yang dilahirkan oleh nenek moyang kita untuk memecahkan suatu persoalan dalam kehidupan sehari-hari, dan kini juga masih berlaku dalam kehidupan kita semua. Tradisi di zaman dulu, seperti sesuatu yang masih berbaur mistis atau tidak bisa dirasionalkan, akan tetapi bila dilihat secara keilmuan tidak semua tradisi bersifat demikian, bahkan bisa diterapkan digenerasi manapun, karena tradisi lahir dari proses pengalaman yang sangat panjang.

Nenek moyang masyarakat Aceh sejak berabad silam hingga kita kini, telah meninggalkan berbagai macam konsep dalam mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi, hingga kini menjadi sebuah kearifan tersendiri.

Pendidikan
Belakangan ini dunia pendidikan di negeri kita seperti sebuah imajinasi hanyalan untuk bisa bangkit membangun sebuah peradaban yang baik dan bermoral. Meningkatnya wabah korupsi, hilangnya kejujuran dan ketidak percayaan sesama kita. Nenek moyang kita meninggalkan warisan yang dikenang dan di akui oleh dunia, lantas dimana sekarang tradisi itu? Mulai dari bergaul, mendidik, permainan, dll. Dan tradisi itu pasti masih ada sekarang dalam lingkaran kehidupan kita baik pada individu maupun kelompok.

Lingkungan
Bagi orang Aceh, Lingkungan adalah salah satu interaksi yang sederajat dengan lainnya atau hubungan kita dengan Alam. Manusia Aceh (orang Aceh) tempo dulu, sangat akrab dengan lingkungan alam di sekitarnya. Mereka menyatu dengan alam, baik alam nyata maupun alam gaib. Kenyataan demikian sangat nampak dalam kehidupan masyarakat desa. Faktor pengikat keakraban dengan alam itu terdorong oleh beberapa sebab, yakni tradisi tarikat yang beraliran Islam tasawuf dan memposisikan lingkungan bagian dari ciptaan tuhan yang harus di jaga, itu diperlihatkan dengan tradisi khanduri mulai dari proses penanaman sampai panen.

Semua daerah mempunyanyi caranya sendiri dalam berhubungan dengan Alam, tetapi secara universal sama, bagaimana kita memposisikan alam bagian dari hidup kita. Disisi ini nenek moyang kita mempunyai caranya sendiri dalam melakukannya, bagaimana mereka menjaga hutan, lepas dari banjir, dan tradisi itu masih ada sampai sekarang di Aceh, bahkan pemerintah sudah membuat legalisasi lembaga adat seperti Pang Laot, Keujeureun Blang, Keujeureun Gle, dll.

Sosial dan Ekonomi
Manusia dalam menjalani hidup sehari-hari harus saling berdampingan dengan manusia-manusia lainnya, karena itu satu-satu cara mereka untuk meminimalisir sifat kebinatangan dan untuk berkembang. Karena sifat kebinatangan inilah yang membuat manusia-manusia zaman dulu membuat sebuah kesepakatan sistem atau cara untuk bisa menjaga keberlangsungan hidup ini.

Di Aceh terdapat penyelesaian sengketa secara damai melalui lembaga adat. Istilah yang dipakai untuk lembaga itu, meskipun tujuannya sama, berbeda di tiap daerah. Pada umumnya masyarakat Aceh menamakan lembaga itu Suloh. Istilah Suloh berasal dari bahasa Arab, menurut ilmu sharaf ia berasal dari kata shalaha, yaslubu, shuluhun yang berani perdamaian, lawan dari kerusakan.

Lembaga ini dikatakan telah ada sejak masa Sultan Iskandar Muda memerintah
di Aceh (1607) sampai sekarang. Sebelum 1514 Aceh merupakan beberapa kerajaan
kecil yang berdaulat. Masing-masing kerajaan itu mempunyai adat-istiadat tersendiri
yang dalam banyak hal berbeda satu dengan yang lain. Setelah terjadi persatuan dalam kerajaan Aceh Darussalam adat-istiadat yang telah ada sebelumnya tidak hilang begitu saja. Sebagiannya tetap ada dan berbeda sampai sekarang.

Sebelum pemerintahan Sultan Iskandar Muda, persengketaan berat banyak diselesaikan dengan cara penindasan, pembunuhan dan balas dendam, sehingga keamanan dan ketenteraman tidak terjamin. Sesudah Islam masuk Aceh, jumlah
persengketaan menurun karena cepat diurus secara damai melalui adat.

Sekarang tiap sengketa yang terjadi dalam masyarakat, dengan tidak memandang siapa yang terlibat, bisa diselesaikan secara adat melalui Suloh. Suloh sebagai lembaga adat merupakan hukum perdamaian untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat. Jika terjadi sengketa, pimpinan menelaah dan mempertimbangkan segala aspek dalam menentukan sebuah penyelesaian yang dapat diterima semua pihak. Keputusan demikian mempunyai kekuatan mengikat, karena ia bersumber pada nilai-nilai masyarakat dan pada umumnya masyarakat tidak berani melanggar keputusan tersebut. Dan selain sebagai makhluk social mereka juga sebagai makhluk ekonomis. Masyarakat Aceh mempunyanyi sistim ekonomi sendiri, dimana dalam menciptakan iklim ekonomi yang baik, mereka juga membantu antar sesama, seperti Peumawah, Peugala.

Untuk mengubah sebuah keadaan menuju lebih baik dibutuhkan Kekuatan masyarakat atau Individu, bisa berbentuk tanggung jawab untuk mengambil, memilih dan melaksanakan tugas-tugas yang diperlukan (sumber solusi) bagi perubahan .
Memang, manusia lahir sebagai akibat dari kreativitas Tuhan. Namun kita pun diberi tugas untuk mengubah keadaan kita golongan yang awalnya “ hanya ” sebagai akibat, menjadi sebab” menuju kekuatan Aceh.

Melalui Tema The Soul of Culture penyelenggaraan Aceh Documentary Competition (ADC) dengan menjadikan isu kekuatan pada lima pilar (pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan) sebagai trigger, diharapkan lahir gagasan-gagasan proposal film dokumenter yang berorientasi pada :

  1. Potret Individu/sekelompok orang yang konsen menggunakan tradisi dahulu dalam diri sendiri, lingkungan untuk memajukan masyarakatnya yang lebih baik di tinjau dari semua aspek.
  2. Praktisi/Ilmuwan/masyarakat biasa yang melakukan penelitian guna menemukan tradisi peninggalan nenek moyang dalam menyelesaikan persoalan masyarakat sekarang.
  3. Tokoh Masyarakat/Tokoh adat yang bekerja keras dan bersinergi dengan masyarakatnya sehingga mampu menerapkan cara-cara lama untuk bertahan hidup, rukun dan berdamai dengan lingkungan.

Dokumen
ToR ADC2014 The Soul of Culture
Form Proposal Ide ADC2014